Official website of Himpunan Mahasiswa Program Studi Hukum Keluarga Islam UIN K.H. Abdurrahman Wahid

  • Jelajahi

    Copyright © HMPS HKI UIN GUSDUR
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Menu Bawah

    PANDANGAN ULAMA TENTANG PERNIKAHAN DINI | ARTIKEL | HUKUM KELUARGA ISLAM IAIN PEKALONGAN

    HMPSHKI UINGUSDUR Pekalongan
    Jumat, 13 Agustus 2021, Agustus 13, 2021 WIB Last Updated 2021-10-27T03:16:14Z
    masukkan script iklan disini
    masukkan script iklan disini

    Secara etimologis, kata nikah berasal dari bahasa Arab "نكح "yang berarti mengumpulkan, menggabungkan, menghimpun atau menambahkan. Kata nikah sama juga memiliki arti al-wath yang artinya berhubungan seksual. Sementara nikah secara terminologis menurut para ahli fikih adalah akad (kontrak) sebagai cara agar sah melakukan hubungan seksual. Hukum asal pernikahan adalah jawaz/mubah (dibolehkan). Jumhur ulama' berpendapat bahwa nikah hukumnya sunah. Sementara az-Zahiri menyatakan wajib. Menurut Ulama Malikiyah, bagi sebagian orang sunnah, sebagian lainnya mubah. Perubahan hukum ini mengikuti berbagai latar belakang penyebab terjadinya perkawinan.

    Berkaitan dengan batas usia pernikahan, Islam tidak memberikan batasan umur ideal dalam pernikahan. Seseorang wali dapat menikahkan anaknya sebelum atau setelah mencapai usia baligh. Kriteria baligh pun masih diperdebatkan dikalangan ulama'. As-Syafi'i misalnya, membatasi baligh bagi laki-laki ketika sudah mencapai umur 15 tahun dan/atau sudah mimpi basah sementara bagi perempuan ketika sudah berumur 9 tahun atau sudah mengalami menstruasi. Abu Hanifah menyebutkan bahwa usia dewasa laki-laki adalah 18 tahun sedangkan perempuan adalah 17 tahun. Adapun Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan menyebutkan 15 tahun sebagai tanda baligh. Ini berlaku bagi laki-laki dan perempuan. Para pakar tafsir sendiri berbeda-beda dalam memaknai bulugh al-nikah seperti yang terdapat dalam QS. An-Nisa'[4]: 6. Ibnu Katsir memaknai kalimat ini dengan mimpi basah atau umur 15 tahun. Al-Alusi menyebut usia 18 tahun untuk anak merdeka dan 17 tahun untuk budak. Sedangkan Abu Hayyan mengutip pendapat An-Nakha'i dan Abu Hanifah menyebut usia 25 tahun. Syaikh Abdul Aziz Ali, pernah mengatakan jika seorang perempuan sudah berusia 10 atau 12 tahun, ia boleh dikawinkan. Orang yang menganggapnya masih kecil, maka orang itu telah keliru dan zalim terhadap perempuan tersebut.

    Dalam hal ini, umat Islam terpolarisasi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang memperbolehkan dan kelompok yang melarang adanya model pernikahan ini. Misalnya, hasil Muktamar Nahdhatul Ulama ke-32 di Makassar memperbolehkan perkawinan di bawah umur, dengan dasar hadis yang mengisahkan Aisyah yang dinikahi Nabi Muhammad SAW. Ketika berumur 6 tahun, meskipun baru hidup bersama ketika mencapai umur 9 tahun. Sedangkan Majelis Tarjih Muhammadiyah menilai bahwa pernikahan Nabi SAW. dengan Aisyah ra. tidak dapat dijadikan dasar argumentasi diperbolehkannya pernikahan di bawah umur. Hadits yang menyatakan bahwa Aisyah menikah pada usia 6 tahun dinilai janggal dan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Majelis Tarjih Muhammadiyah cenderung sepakat dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.

    International Islamic Center for Population Studies & Research Al-Azhar menyatakan bahwa perkawinan anak usia dini tidak memiliki dasar dan argumentasi keagamaan yang kuat dan shahih dalam perspektif Islam. Ditinjau dari aspek psikologis, usia terbaik untuk menikah adalah antara 19 sampai dengan 25 tahun. Ciri-ciri psikologis yang paling mendasar adalah mengenai pola perasaan, pola pikir dan pola perilaku tampak diantaranya, stabilitas mulai timbul dan meningkat, citra diri dan sikap pandangan lebih realistis. Menghadapi masalah secara lebih matang, dan perasaannya menjadi lebih tenang.

    Pewarta : Abdurrahman Itsnan
    Editor : Choirun Nisrina
    Komentar

    Tampilkan

    Terkini

    HMPSHKI Universitas K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan

    HMPSHKI UINGSUDR

    +