Di era yang semakin modern saat
ini juga pemikiran yang kian berkembang, childfree menjadi isu yang
sedang hangat diperbincangkan di kalangan masyarakat khususnya pasangan muda.Foto by Google
Dimana childfree adalah kesepakatan antara suami dan istri untuk tidak memiliki keturunan, hal ini sangat berbanding terbalik dengan konstruksi budaya masyarakat Indonesia yang menganggap anak adalah sebagai anugerah, menganggap anak dapat memberikan manfaat sosial sebagai sumber ketenteraman dan status sosial, manfaat ekonomi sebagai sumber pendapatan dan jaminan hari tua, manfaat budaya sebagai ahli waris, manfaat agama sebagai amanah dari Tuhan, dan manfaat psikologis sebagai sumber kepuasan keluarga.[1]
Selain itu, mayoritas masyarakat Indonesia adalah beragama Islam, yang dimana Islam menyebutkan bahwa pasangan yang memutuskan untuk tidak memiliki keturunan adalah suatu hal yang bertentangan dengan syariat Islam.
Karena jika kita
berkaca dengan Maqashid Syariah, terdapat lima tujuan hidup yang harus
dipertahankan salah satunya adalah pemeliharaan keturunan, yang kemudian
disambungkan dengan fitrah manusia yang diciptakan berpasang-pasangan dan untuk
memiliki keturunan.
Apabila kita melihat pada sejarah, Allah telah memerintahkan kepada nabi Muhammad SAW untuk memperbanyak umat dengan menganjurkan pernikahan agar mendapat keturunan. Perintah menikah ini ada pada hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari yang berbunyi “Wahai pemuda, barang siapa yang memiliki biaya, maka menikahlah karena hal itu mampu menundukkan pandanga dan lebih menjaga kemaluan. Dan barang siapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagai obat pengekang baginya.”
Selain itu, pada surat An Nahl ayat 72 Allah menjamin
pasangan adalah dari jenis kita sendiri dan akan menghasilkan anak cucu
(keturunan), serta memberikan rizki yang baik.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa, childfree dalam perspektif hukum Islam terdapat tiga hukum yang dapat diambil yaitu:
Berbeda
ketika kita berbicara menggunakan hukum positif yang dimana setiap manusia
mempunyai hak asasi manusia yang kemudian berhak sepenuhnya atas diri, pilihan,
dan jalan hidupnya sendiri.
Sumber;
[1] Miwa Patnani, Bagus Takwin, dan Winarini Wilman Mansoer, “Bahagia
tanpa anak? Arti penting anak bagi involuntary childless,” Jurnal Ilmiah
Psikologi Terapan 9, no. 1 (2021): 117,
https://doi.org/10.22219/jipt.v9i1.14260, h. 118.
Penulis : Miladia Nur