masukkan script iklan disini
Ali Aziz, 10123034,
UIN K. H. Abdurrahman Wahid Pekalongan,
aliaz080905@gmail.com, 085712167519
ABSTRAK
Penelitian ini membahas perceraian dengan alasan salah satu pasangan mengalami kemandulan dalam perspektif hukum positif di Indonesia. Fenomena ini masih sering menimbulkan kesalahpahaman di masyarakat, yang menganggap bahwa kemandulan secara otomatis dapat menjadi dasar sah untuk mengajukan perceraian. Padahal, menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), kemandulan hanya dapat dijadikan alasan perceraian dalam kondisi tertentu, yaitu apabila kemandulan tersebut diketahui setelah akad nikah dan tidak diketahui sebelumnya, serta apabila kemandulan tersebut menimbulkan perselisihan atau konflik yang berkepanjangan dalam rumah tangga. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan yuridis dan sosiologis untuk memahami aspek hukum sekaligus realitas sosial yang melingkupinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemahaman masyarakat terhadap hukum perceraian masih perlu diluruskan, dan perlunya edukasi hukum agar perceraian tidak dijadikan jalan keluar utama atas permasalahan keturunan.
Kata Kunci:Perceraian,Mandul,Hukum Positif
ABSTRACT
This study discusses divorce on the grounds of one of the partners being infertile from the perspective of positive law in Indonesia. This phenomenon still often causes misunderstanding in society who assume that infertility can automatically be a legitimate basis for filing for divorce. In fact, according to Law Number 1 of 1974 and the Compilation of Islamic Law (KHI), infertility can only be used as a reason for divorce under certain conditions, namely if the infertility is discovered after the marriage contract and was not known beforehand, and if the infertility causes prolonged disputes or conflicts in the household. This study uses a qualitative method with a juridical and sociological approach to understand the legal aspects and social realities that surround it. The results of the study indicate that public understanding of divorce law still needs to be improved, and legal education is needed so that divorce is not used as the main solution to offspring problems.
Key Words:Divorce,Infertility,Positif Law
INTRODUCTION
Sebelum diberlakukannya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, sistem hukum perkawinan di Indonesia bersifat pluralistik, yaitu diatur oleh berbagai sistem hukum yang berbeda-beda tergantung pada golongan masyarakat dan latar belakang keagamaannya (Ashsubli, 2015). Hukum adat berlaku bagi orang Indonesia asli secara umum, hukum Islam mengatur perkawinan bagi orang Indonesia asli yang beragama Islam, sementara ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek/BW) diberlakukan bagi masyarakat keturunan Eropa dan Tionghoa dengan sejumlah pengecualian tertentu. Selain itu, terdapat pula Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Ordonnantie Christen Indonesia/HOCI) yang diterapkan bagi orang Indonesia asli yang beragama Kristen (Aryati, 2022). Keragaman sistem hukum ini menyebabkan tidak adanya keseragaman dalam aturan dan prinsip dasar mengenai perkawinan, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan perlakuan yang tidak seragam terhadap warga negara dalam urusan rumah tangga. Kehadiran Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menjadi tonggak penting dalam usaha unifikasi hukum perkawinan di Indonesia (Rofiqoh, 2023). Dalam Pasal 1 undang-undang ini, perkawinan didefinisikan sebagai ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Penjelasan pasal ini menegaskan bahwa sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, khususnya sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan bukan semata-mata bersifat jasmani atau administratif, melainkan juga memiliki dimensi rohani dan keagamaan yang kuat (Lahaling, 2021). Perkawinan diposisikan sebagai lembaga suci yang tidak hanya mengikat secara hukum, tetapi juga secara spiritual dan sosial, sehingga tidak boleh dijalankan atau diakhiri secara sembarangan. Tujuan dari perkawinan dalam kerangka hukum ini adalah untuk menciptakan keluarga yang bahagia dan kekal, yang berarti ikatan perkawinan harus dilandasi oleh komitmen jangka panjang dan tidak dibatasi oleh waktu tertentu (Al-Arif, 2017). Oleh karena itu, pembubaran atau pemutusan perkawinan melalui perceraian hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat mendesak dan dengan alasan-alasan tertentu yang diatur oleh undang-undang. Perceraian, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 Undang-Undang Perkawinan, merupakan bentuk putusnya perkawinan yang berakibat hukum pada terputusnya hubungan sebagai suami istri, baik dalam aspek lahir maupun batin. Dalam terminologi hukum positif, perceraian bukan sekadar berpisah secara fisik, tetapi juga menyangkut berakhirnya ikatan yuridis yang telah menghubungkan dua individu dalam satu kesatuan rumah tangga (Olivia, 2015). Istilah "cerai" dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai pisah atau putus hubungan sebagai suami istri, sedangkan “perceraian” merujuk pada peristiwa perpisahan antara suami dan istri yang mengakibatkan tidak adanya lagi hubungan sebagai pasangan suami istri. Dengan demikian, perceraian bukanlah sekadar proses sosial, tetapi merupakan peristiwa hukum yang harus memenuhi syarat-syarat formal dan material tertentu, sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku (Safitri, 2022).
Untuk mewujudkan tujuan perkawinan,maka harus terpenuhi semua persyaratan baik dalam hukum agama dan peraturan undang undang yang berlaku. Di dalam Undang Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.Perkawinan hanya bertujuan untuk membentuk keluarga yang kekal dan Bahagia, tanpa ada keharusan mempunyai anak sebagai factor pendukung kebahagiaan dalam rumah tangga begitu pula dalam Kompilasi Hukum Islam, anak bukanlah suatu tujuan dari perkawinan. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga Sakinah mawaddah warahmah (Masri, 2019). Tolak ukur kebahagiaan di dalam sebuah keluarga bukanlah dinilai dari segi keluarga tersebut mempunyai anak atau tidak melainkan diukur dari Tingkat keharmonisan dari keduanya. Mempunyai anak bukanlah jaminan akan bahagianya keluarga tersebut adakalanya memiliki anak sebagai percecokan karena dengan memiliki anak akan menjadi bertambahnya biaya kehidupan sehari-hari. Namun tidak sedikit pasangan yang bercerai disebabkan oleh kemandulan. Maka dari itu, penulis melakukan penelitian perceraian yang disebabkan oleh mandul merupakan Keputusan yang tepat atau tidak jika dilihat dari kacamata hukum positif (Suhaila, 2018).
Melihat realitas yang terjadi di Masyarakat tidak jarang ditemukan pasangan yang bercerai disebabkan olwh faktor mandul. Penulis berusaha untuk memberikan pengetahuan kepada pembaca dan menjawab segelintir permasalahan pasangan suami istri yang merasakan problem ini. Penulis menggunakan analisis terhadap kasus yang terjadi pada pasangan suami istri yang bercerai sebab mandul kebanyakan tidak melihat dari sisi hukum positif saja dan hanya beralasan dengan pernikahan tanpa anak adalah pernikahan yang tidak Bahagia.
Penelitian ini dilakukan guna untuk memberikan pemahaman yang benar kepada pembaca tentang perceraian yang disebabkan mandul menurut hukum positif dan juga sebagai referensi baru untuk penelitian penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan problem ini.
LITERATURE REVIEW
1. PERCERAIAN
Perceraian merupakan putusnya hubungan suami istri atau berakhirnya suatu ikatan perkawinan. Dalam perspektif hukum Islam, menurut Amir Syarifuddin (2009:197), perceraian dapat terjadi karena empat kemungkinan, yaitu atas kehendak Allah melalui kematian, atas kehendak suami yang disebut talak, atas kehendak istri yang disebut khulu, serta atas keputusan hakim sebagai pihak ketiga yang disebut fasakh (Hamid, 2018). Sementara itu, dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 28, dijelaskan bahwa perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas putusan pengadilan. Hal ini diperjelas dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 9 Tahun 1975 pasal 18 yang menyatakan bahwa perceraian dianggap sah pada saat dinyatakan di depan sidang pengadilan. Sejalan dengan itu, Subekti (1985:23) mendefinisikan perceraian sebagai penghapusan perkawinan melalui putusan hakim atas tuntutan salah satu pihak, dan P.N.H. Simanjuntak (2007:53) juga menyebutkan bahwa perceraian adalah pengakhiran perkawinan karena suatu sebab melalui keputusan hakim, baik atas permintaan salah satu maupun kedua belah pihak. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa perceraian dapat terjadi karena kematian, talak, khulu, atau melalui putusan pengadilan (Toban, 2021). Namun, dalam konteks pembahasan ini, yang menjadi fokus adalah perceraian yang terjadi melalui putusan pengadilan, di mana pasangan suami istri dinyatakan resmi berpisah setelah melalui serangkaian prosedur dan mekanisme persidangan.
Perceraian merupakan lepasnya ikatan dan berakhirnya hubungan perkawinan antara suami dan istri, yang mengakibatkan keduanya tidak lagi halal bergaul sebagaimana layaknya pasangan suami istri. Berdasarkan pasal 114 Kompilasi Hukum Islam (KHI), perceraian dapat terjadi karena talak atau gugatan perceraian, dan lebih lanjut dijelaskan dalam pasal 116 KHI mengenai alasan-alasan perceraian yang dapat diajukan ke pengadilan untuk diproses. Alasan-alasan tersebut meliputi: salah satu pihak berbuat zina, menjadi pemabuk, pemadat, atau penjudi yang sulit disembuhkan; salah satu pihak meninggalkan pasangannya selama dua tahun berturut-turut tanpa izin atau alasan yang sah; dijatuhi hukuman penjara lima tahun atau lebih; melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain; mengalami cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami istri; terjadi perselisihan dan pertengkaran terus-menerus tanpa harapan hidup rukun; suami melanggar taklik talak; serta terjadinya peralihan agama atau murtad yang menyebabkan ketidakharmonisan dalam rumah tangga (Azizah, 2017)
2. KEMANDULAN
Kemandulan atau dalam istilah medis disebut infertilitas merupakan kondisi ketidakmampuan suatu pasangan untuk memperoleh keturunan. Berbeda dengan infertil yang menunjukkan ketidakmampuan relatif atau kekurangmampuan untuk menghasilkan keturunan, bukan ketidakmampuan secara mutlak (Rusdani). Menurut Anwar, infertilitas terbagi menjadi dua jenis, yaitu infertil primer dan infertil sekunder. Infertil primer terjadi ketika pasangan suami istri belum pernah mengalami kehamilan meskipun telah melakukan hubungan seksual secara teratur selama 12 bulan tanpa menggunakan alat kontrasepsi, sedangkan infertil sekunder terjadi apabila pasangan gagal mendapatkan kehamilan setelah satu tahun pasca melahirkan atau mengalami keguguran, juga tanpa menggunakan alat kontrasepsi (Hartini, 2023).
Sementara itu, menurut Alam dan Hadibroto, fertilitas adalah kondisi yang memungkinkan terjadinya kehamilan sebagai hasil hubungan seksual antara pria dan wanita, sedangkan infertil merupakan kegagalan untuk mencapai kehamilan setelah satu tahun atau lebih menikah tanpa penggunaan alat kontrasepsi (Rusdani). Dalam masyarakat, pasangan yang tidak memiliki anak sering kali mendapat stigma negatif yang menyebabkan tekanan psikologis. Keluarga tanpa anak dianggap sebagai keluarga yang gagal karena tidak mampu menghasilkan keturunan atau pewaris. Stigma ini termasuk dalam kategori discredited stigma, yaitu stigma yang secara nyata terlihat dan mempengaruhi pandangan masyarakat, seperti tidak adanya anak dalam rumah tangga. Pasangan suami istri yang tidak memiliki anak kerap kali dipandang sebelah mata, direndahkan, atau bahkan dicibir dengan sebutan mandul, kena karma, atau dianggap mengidap penyakit tertentu. Tekanan sosial ini dapat menimbulkan kecemasan yang besar, terutama jika usia pernikahan sudah cukup lama. Akibatnya, interaksi sosial pasangan tersebut terganggu dan memengaruhi peran sosial yang mereka jalani dalam lingkungan masyarakat.
3. PERCERAIAN DALAM HUKUM POSITIF
Dalam konteks hukum di Indonesia, urusan perkawinan dan perceraian tidak hanya diatur oleh norma dan hukum agama (khususnya Islam bagi penganutnya), tetapi juga oleh sejumlah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh negara. Aturan-aturan tersebut antara lain tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, hingga Kompilasi Hukum Islam Tahun 1991 (Susylawati, 2018). Negara memiliki kepentingan untuk ikut campur dalam urusan sosial seperti ini guna menjamin ketertiban masyarakat dan memberikan perlindungan hukum bagi warganya. Tujuan dari serangkaian aturan ini adalah untuk menciptakan kebahagiaan dan ketenteraman batin dalam kehidupan rumah tangga, seperti yang ditegaskan dalam Pasal 1 UU Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita dalam rangka membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Ridwan, 2020).
Terkait dengan perceraian, hukum di Indonesia menetapkan bahwa perceraian bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan. Hal ini tampak dari ketentuan yang mewajibkan perceraian dilakukan melalui pengadilan serta harus disertai alasan-alasan yang cukup kuat untuk menunjukkan bahwa rumah tangga tersebut tidak dapat lagi dipertahankan. Peraturan ini termuat dalam berbagai perundang-undangan seperti UU Nomor 1 Tahun 1974, PP Nomor 9 Tahun 1975, hingga Kompilasi Hukum Islam. Salah satu bentuk penegasan norma ini terlihat dari ketentuan bahwa segala bentuk perceraian yang dilakukan di luar pengadilan dianggap tidak sah (Fitri, 2019). Dengan demikian, terlihat bahwa hukum positif di Indonesia membawa semangat untuk menjaga keutuhan rumah tangga dan mencegah terjadinya perceraian sebisa mungkin, kecuali jika memang sudah tidak ada jalan lain.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang berfokus pada pemahaman mendalam terhadap suatu fenomena sosial dan hukum, yakni mengenai kemandulan sebagai salah satu alasan perceraian dalam perspektif hukum positif di Indonesia. Pendekatan kualitatif dipilih karena memberikan keleluasaan kepada peneliti untuk menelaah dinamika yang bersifat normatif dan interpretatif yang tidak dapat dijangkau melalui pendekatan kuantitatif. Selain itu, pendekatan ini memungkinkan eksplorasi mendalam terhadap konteks, makna, dan relevansi peraturan hukum yang berlaku terhadap realitas sosial yang berkembang di masyarakat, khususnya dalam hal penyebab perceraian yang berkaitan dengan ketidakmampuan pasangan suami istri untuk memperoleh keturunan.
Dalam penelitian ini, pendekatan analisis literatur (library research) digunakan sebagai teknik utama dalam proses pengumpulan dan pengolahan data. Teknik ini dilakukan dengan menelaah dan menganalisis berbagai literatur hukum yang relevan, baik yang bersifat primer maupun sekunder. Sumber-sumber primer mencakup peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dalam sistem hukum nasional Indonesia, seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Sedangkan sumber-sumber sekunder meliputi buku-buku hukum, artikel-artikel jurnal ilmiah, karya ilmiah lainnya, serta dokumen resmi dari lembaga-lembaga negara yang berkaitan dengan praktik dan data perceraian di Indonesia.
Analisis terhadap bahan-bahan pustaka tersebut dilakukan secara sistematis dengan tujuan untuk mengidentifikasi pola pemikiran, argumentasi hukum, serta praktik peradilan yang terjadi di lapangan terkait perceraian dengan alasan kemandulan. Peneliti menelaah bagaimana ketentuan hukum yang berlaku mengatur kemungkinan kemandulan dijadikan sebagai dasar perceraian, baik secara eksplisit maupun implisit. Hal ini termasuk juga mempertimbangkan aspek pembuktian di pengadilan, peran hakim dalam menilai kondisi rumah tangga yang bermasalah, serta pandangan para ahli hukum terhadap isu ini.
Dalam proses analisis, peneliti menerapkan pendekatan interpretatif terhadap teks-teks hukum dan literatur ilmiah. Tujuannya adalah untuk menemukan kesamaan dan perbedaan pandangan antar sumber, mengidentifikasi posisi hukum positif, serta menggali pemahaman yang utuh mengenai bagaimana sistem hukum Indonesia menyikapi kemandulan sebagai alasan yang sah untuk mengakhiri ikatan perkawinan. Penekanan khusus diberikan pada ketentuan Pasal 19 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan bahwa perselisihan dan pertengkaran yang berkepanjangan dapat dijadikan alasan perceraian, di mana kemandulan dapat menjadi faktor pemicunya. Dalam hal ini, peneliti juga mempertimbangkan bahwa kemandulan baru dapat menjadi alasan sah apabila diketahui setelah pernikahan berlangsung dan bukan merupakan fakta yang disembunyikan sebelum akad nikah.
Selain itu, kajian ini turut mempertimbangkan realitas sosial yang berkembang di masyarakat. Dalam banyak kasus, tekanan sosial dan harapan terhadap keberadaan anak dalam rumah tangga dapat memicu ketegangan yang berujung pada perceraian. Oleh karena itu, analisis dalam penelitian ini tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga memperhatikan dinamika sosiologis yang membentuk persepsi dan keputusan hukum, baik oleh masyarakat maupun oleh aparat peradilan.
Melalui pendekatan kualitatif yang mendalam, hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran yang komprehensif dan kritis mengenai bagaimana sistem hukum di Indonesia memosisikan isu kemandulan dalam konteks perceraian. Penelitian ini tidak hanya bersifat deskriptif, tetapi juga menawarkan refleksi terhadap kecenderungan praktik hukum yang berkembang. Dengan demikian, kajian ini dapat menjadi kontribusi akademik yang bermakna bagi pengembangan ilmu hukum keluarga, serta menjadi bahan pertimbangan bagi para pembuat kebijakan, praktisi hukum, dan masyarakat luas yang ingin memahami isu ini secara lebih holistik.
RESULTS
Perceraian di Indonesia terus menjadi isu sosial yang signifikan meskipun telah mengalami penurunan jumlah kasus dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), tercatat sebanyak 408.347 kasus perceraian sepanjang tahun 2024. Angka ini menurun dibandingkan tahun 2023 yang mencapai 467.000 kasus dan 516.000 kasus pada tahun 2022. Kendati mengalami penurunan, angka tersebut tetap menunjukkan bahwa perceraian merupakan persoalan yang cukup kompleks dan masih sering terjadi dalam kehidupan rumah tangga di Indonesia. Dalam masyarakat modern, tekanan sosial (social pressure) terhadap pasangan yang bercerai cenderung berkurang. Bercerai tidak lagi dianggap sebagai aib, melainkan telah menjadi hal yang lazim (Hanifa). Faktor penyebab perceraian pun beragam, antara lain permasalahan ekonomi, kekerasan dalam rumah tangga, hingga ditinggal pasangan secara sepihak (ghosting), yang semuanya mencerminkan dinamika sosial dan pergeseran nilai dalam institusi perkawinan. Melihat pada undang – undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 39 ayat 2 diterangkan adanya 6 sebab yang dapat dijadikan alas an perceraian baik untuk menjatuhkan talak maupun cerai gugat, alasan – alasan yang dimaksud adalah sebagai berikut:
- Salah satu pihak melakukan zina, pemabuk, pemadat, penjudi, dan perbuatan lainnya yang sulit disembuhkan
- Salah satu pihak mrninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut – turut tanpa izin dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya
- Salah satu pihak atau pasangan mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung
- Salah satu pihak atau pasangan melakukan kekejaman atau penganiyayaan berat yang membahaykan pihak lain
- Salah satu pihak atau pasangan mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri
- Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Sedangkan dalam kompilasi hukum islam atau KHI alasan perceraian diatur dalam pasal 116 KHI, yakni sebagai berikut:
Salah satu pihak atau pasangan melakukan perbuatan zina, menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan sebagainya yang sulit disembuhkan.
- Salah satu pihak meninggalkan pasangannya selama dua tahun berturut-turut tanpa izin dan tanpa alasan yang sah, atau karena hal-hal di luar kemampuannya.
- Salah satu pihak dijatuhi hukuman penjara selama lima tahun atau lebih setelah perkawinan berlangsung.
- Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan keselamatan pasangannya.
- Salah satu pihak mengalami cacat berat atau mengidap penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
- Terjadi perselisihan dan pertengkaran secara terus-menerus antara suami dan istri, sehingga tidak ada harapan untuk hidup rukun kembali dalam rumah tangga.
- Suami melanggar taklik talak yang telah diikrarkan saat pernikahan.
- Terjadi peralihan agama (murtad) oleh salah satu pihak yang mengakibatkan ketidakrukunan dalam kehidupan rumah tangga.
Meskipun tidak tertulis secara jelas dalam undang - undang nomor 1 tahun 1974, kemandulan tidak termasuk dalam alasan perceraian namun, apabila salah satu dari suami dan istri mengetahui kemandulan sebelum akad pernikahan tetapi dia telah rela atau ada tanda yang menunjukkan kerelaannya maka dia tidak mempunyai hak untuk meminta cerai dengan alasan cacat bagaimanapun juga. Apabila adanya kemandulan pada pihak suami atau istri diketahui setelah akad nikah maka dapat diajukan perceraian. Menurut penulis hal ini selaras dengan peraturan yang mengatur tentang perceraian yang terdapat dalam pasal 19 peraturan pemerintah No. 9 tahun 1975 pasal 116 poin E dan F Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan “salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri”. Dan “antar suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga”.
Berbagai faktor dapat memicu terjadinya perceraian dalam rumah tangga, di antaranya adalah permasalahan ekonomi, perselingkuhan, cacat fisik, serta perselisihan dan pertengkaran yang terjadi secara terus-menerus. Salah satu penyebab yang cukup sering menjadi latar belakang konflik adalah ketidakmampuan memperoleh keturunan (infertilitas). Ketika salah satu pihak, baik suami maupun istri, memiliki keinginan kuat untuk memiliki anak, namun setelah bertahun-tahun menikah dan menjalani hubungan suami istri secara normal tidak juga dikaruniai keturunan, kondisi ini dapat menimbulkan tekanan psikologis dan emosional yang cukup berat. Mengingat salah satu tujuan utama pernikahan, selain membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah, adalah memperoleh keturunan sebagai penerus dan harapan keluarga, maka ketiadaan anak dapat menimbulkan ketegangan dalam hubungan suami istri. Apabila konflik tersebut berlangsung terus-menerus dan dapat dibuktikan secara nyata, maka hal itu dapat menjadi dasar yang sah untuk mengajukan permohonan perceraian menurut hukum yang berlaku.
Mandul seharusnya tidak dijadikan indikator bahwa kehidupan rumah tangga akan berakhir tidak bahagia. Keharmonisan dalam pernikahan tidak semata-mata diukur dari ada atau tidaknya keturunan, melainkan dari kualitas hubungan, komunikasi, dan cinta kasih antara suami dan istri. Anak memang sering dianggap sebagai pelengkap kebahagiaan dalam keluarga, namun kebahagiaan sejati dalam rumah tangga terletak pada kemampuan pasangan untuk saling menerima, menghargai, dan mendukung satu sama lain dalam berbagai kondisi. Oleh karena itu, pasangan yang tidak dikaruniai anak tetap dapat membangun kehidupan rumah tangga yang harmonis, penuh cinta, dan saling pengertian apabila pondasi emosional dan spiritual mereka kuat.
Ditinjau dari segi sosiologi hukum menurut roscoe pound adalah seorang ahli hukum amerika dan mantan dekan harvand law school. Berdasarkan pemikirannya, dia mengatakan bahwa hukum bukanlah suatu keadaan yang statis melainkan suatu proses. Suatu pembentukan hukum intepretasinya maupun penerapannya, hendaknya dihubungkan dengan fakta - fakta sosial. Artinya dalam hal ini hakim memutuskan ajuan perceraian sebab mandul bukan karena hal yang secara khusus disebutkan pada pasal 116 KHI tetapi kemandulan bisa menjadi salah satu faktor pemicu adanya perselisihan tersebut.
DISCUSSION
Fenomena perceraian karena kemandulan menunjukkan bahwa sebagian masyarakat masih memaknai tujuan perkawinan secara sempit, yaitu sebatas untuk memperoleh keturunan. Pemahaman ini mencerminkan adanya ketidaksesuaian antara konsep normatif hukum perkawinan dalam Islam maupun peraturan perundang-undangan dengan realitas sosial yang berkembang. Padahal, sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan serta Kompilasi Hukum Islam (KHI), tujuan utama perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang kekal dan bahagia (sakinah, mawaddah, wa rahmah), bukan semata-mata untuk melahirkan anak.
Pemaknaan yang keliru terhadap tujuan perkawinan tersebut dapat berimplikasi pada terjadinya ketidakadilan dalam relasi antara suami dan istri, terutama terhadap pihak yang divonis mandul. Dalam banyak kasus, pihak yang tidak dapat memiliki anak yang sering kali adalah Perempuan mengalami tekanan psikologis, stigma sosial, bahkan menjadi sasaran utama dalam gugatan perceraian. Kondisi ini menunjukkan bahwa pemahaman masyarakat terhadap tujuan perkawinan belum sepenuhnya selaras dengan prinsip-prinsip keadilan yang terkandung dalam hukum positif dan ajaran Islam.
Mengapa masyarakat bisa memiliki penafsiran yang demikian? Jawabannya terletak pada konstruksi budaya patriarki dan nilai-nilai sosial yang menempatkan anak sebagai simbol kesempurnaan serta keberhasilan rumah tangga. Dalam konteks ini, kemandulan dianggap sebagai suatu "cacat" dalam pernikahan, yang dapat menggugurkan tujuan utama dari pembentukan keluarga. Hal ini diperkuat oleh temuan Mahayana (2017) yang menyatakan bahwa persepsi negatif terhadap pasangan mandul masih sangat dominan, terutama di wilayah pedesaan. Akibatnya, perceraian dengan alasan kemandulan kerap dianggap sebagai hal yang sah dan dapat diterima oleh masyarakat, tanpa mempertimbangkan dasar hukumnya.
Dari perspektif hukum, perceraian hanya dapat dilakukan apabila terdapat alasan yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, juncto Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, dan Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam. Dalam ketentuan tersebut, kemandulan tidak disebutkan secara eksplisit sebagai alasan perceraian. Namun, dalam praktik peradilan, alasan ini sering digunakan sebagai dasar permohonan cerai, khususnya jika pihak pemohon merasa bahwa tidak adanya anak menimbulkan ketidakharmonisan dalam rumah tangga. Dengan demikian, meskipun tidak tegas disebutkan dalam peraturan, kemandulan kerap dimaknai sebagai bagian dari "perselisihan dan pertengkaran yang terus-menerus."
Interpretasi hukum yang demikian membuka ruang dialektika antara norma hukum yang bersifat ideal dan realitas sosial yang berkembang di masyarakat. Jika alasan kemandulan tetap digunakan untuk melegitimasi perceraian, hal ini menunjukkan bahwa hukum tidak selalu bekerja secara normatif, melainkan bersifat kompromistis terhadap nilai-nilai sosial yang ada. Namun, pendekatan semacam ini memiliki risiko memperkuat bias gender serta mereduksi makna substantif dari institusi perkawinan. Alih-alih menegakkan keadilan, perceraian atas dasar kemandulan dapat memperdalam ketimpangan struktural dan memperkuat diskriminasi terhadap pihak yang tidak dapat memiliki keturunan.
Lebih jauh, persoalan ini juga mengajak kita untuk membedakan antara “tujuan” dan “harapan” dalam sebuah pernikahan. Hukum secara tegas menyatakan bahwa anak bukanlah tujuan utama dari suatu perkawinan, tetapi dalam realitas sosial, anak tetap menjadi harapan besar bagi sebagian pasangan. Ketika harapan tersebut tidak terpenuhi, rasa kecewa dapat memicu ketegangan yang berujung pada perceraian. Oleh karena itu, perlu adanya pendidikan hukum dan penyuluhan nilai-nilai perkawinan yang lebih inklusif dan humanis, agar masyarakat dapat membangun pemahaman yang lebih bijaksana dalam menilai makna keberhasilan sebuah rumah tangga.
Sebagai penutup, dapat ditegaskan bahwa fenomena perceraian karena kemandulan tidak hanya menyangkut persoalan individu, melainkan juga berkaitan erat dengan sistem nilai, struktur hukum, serta konstruksi sosial terhadap makna keluarga. Peneliti berharap bahwa melalui kajian ini, pembaca dapat memahami posisi hukum positif terhadap alasan perceraian karena kemandulan, sekaligus membangun kesadaran kritis untuk tidak menilai keberhasilan rumah tangga hanya dari aspek biologis. Hukum perlu terus bersinergi dengan nilai-nilai sosial progresif guna melindungi keutuhan dan martabat setiap individu dalam institusi perkawinan.
CONCLUSION
Dalam hukum positif Indonesia, khususnya dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan serta Kompilasi Hukum Islam (KHI), kemandulan atau infertilitas tidak disebutkan secara eksplisit sebagai alasan sah untuk perceraian. Namun demikian, dalam praktiknya, kondisi ini dapat menjadi akar dari konflik yang lebih luas dalam rumah tangga, yang pada akhirnya dapat memenuhi unsur pertengkaran yang terus-menerus dan tidak ada harapan untuk rukun kembali. Hal ini tercantum dalam Pasal 116 KHI yang memberikan ruang interpretatif, di mana alasan perceraian tidak harus eksplisit tetapi dapat dipahami melalui akibat-akibat yang ditimbulkannya. Kemandulan seringkali melahirkan tekanan psikis, sosial, bahkan ekonomi, terutama ketika harapan terhadap hadirnya anak menjadi unsur penting dalam nilai-nilai perkawinan yang dianut oleh pasangan atau keluarga besar. Dalam masyarakat patriarkal seperti di Indonesia, keturunan dianggap sebagai bagian esensial dari keberlangsungan keluarga, sehingga pasangan yang tidak mampu melahirkan keturunan kerap dianggap gagal dalam memenuhi tujuan pernikahan. Kondisi ini menciptakan ketegangan yang bisa berlangsung lama dan sistemik, serta memengaruhi kualitas hubungan rumah tangga secara menyeluruh. Dengan demikian, meskipun infertilitas tidak dinyatakan sebagai alasan perceraian dalam regulasi secara gamblang, ia memiliki potensi besar menjadi pemicu perceraian melalui jalur pertengkaran yang terus-menerus dan tidak dapat didamaikan, sesuai dengan norma yang berlaku dalam sistem hukum kita.
Oleh karena itu, penafsiran terhadap hukum positif harus bersifat fleksibel dan adaptif terhadap kondisi sosial yang berkembang. Hukum bukan hanya serangkaian aturan baku yang kaku, melainkan sebuah sistem yang hidup (living law) yang semestinya bergerak dinamis bersama masyarakat yang dilayaninya. Dalam konteks perceraian akibat kemandulan, hakim dan aparat penegak hukum perlu mengedepankan pendekatan sosiologis dan psikologis dalam memahami akar masalah suatu perkara. Fleksibilitas penafsiran ini tidak berarti mengaburkan norma hukum yang berlaku, melainkan memberikan ruang bagi pendekatan keadilan substantif ketimbang sekadar keadilan formal. Selain itu, penting untuk mengakui bahwa setiap pasangan memiliki konteks dan latar belakang sosial yang berbeda. Dalam banyak kasus, tekanan untuk memiliki anak bukan hanya datang dari pasangan itu sendiri, melainkan dari ekspektasi keluarga besar atau lingkungan sosial yang masih mengidealkan keluarga dengan anak sebagai ukuran keberhasilan pernikahan. Maka dari itu, dalam mengambil keputusan hukum, pendekatan kasuistik dan interdisipliner menjadi penting untuk menggali motif perceraian yang sebenarnya. Penafsiran yang hanya berlandaskan teks normatif tanpa mempertimbangkan realitas sosiologis dikhawatirkan akan mengabaikan aspek-aspek keadilan yang lebih substantif dan kontekstual. Oleh sebab itu, pengembangan hukum keluarga di Indonesia memerlukan keterbukaan terhadap tafsir-tafsir baru yang lebih manusiawi dan relevan dengan tantangan zaman.
Berdasarkan uraian di atas, diperlukan adanya edukasi yang masif kepada masyarakat tentang makna pernikahan yang lebih luas dan tidak semata-mata dibatasi oleh aspek reproduksi atau keturunan. Nilai pernikahan hendaknya ditekankan pada aspek saling melengkapi, saling mencintai, dan membangun kehidupan bersama dalam suka dan duka. Dalam Islam pun, pernikahan dipahami sebagai mitsaqan ghaliza, yaitu perjanjian yang kuat antara dua insan, bukan sekadar sarana untuk melahirkan keturunan. Oleh karena itu, persepsi masyarakat terhadap infertilitas perlu diluruskan agar tidak menjadi sumber stigma atau tekanan sosial terhadap pasangan yang mengalaminya. Selain edukasi, negara juga berkewajiban memberikan perlindungan hukum dan psikososial bagi pasangan infertil, baik melalui layanan konseling, akses terhadap teknologi reproduksi berbantu, maupun perlindungan dari diskriminasi dalam kehidupan sosial. Hal ini dapat dilakukan dengan penguatan regulasi dan kebijakan afirmatif, misalnya dengan mempertegas hak-hak pasangan infertil dalam sistem hukum keluarga serta mendorong lembaga keagamaan dan sosial untuk ikut serta memberikan narasi yang membangun. Tanpa perlindungan yang memadai, pasangan infertil akan terus berada dalam posisi rentan dan terancam mengalami diskriminasi bahkan tekanan untuk berpisah. Dengan pendekatan yang lebih inklusif dan edukatif, diharapkan masyarakat bisa lebih bijak memandang pernikahan, dan hukum dapat hadir sebagai instrumen keadilan yang melindungi seluruh warga negara tanpa terkecuali, termasuk mereka yang diuji dengan kemandulan.
DAFTAR PUSTAKA
Ashsubli, M. (2015). Undang-Undang Perkawinan Dalam Pluralitas Hukum Agama (Judicial Review Pasal Perkawinan Beda Agama). Jurnal Cita Hukum, 3(2), 289-302.
Aryati, R., Vensuri, H., & Febrianto, M. (2022). Sejarah Berlakunya BW dan KUHPerdata di Indonesia. Journal of Criminology and Justice, 2(1), 11-16.
Rofiqoh, E. IMPLEMENTASI DAN DAMPAK PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA PASCA SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG (SEMA) NOMOR 2 TAHUN 2023 (Master's thesis, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta).
Lahaling, H., & Makkulawuzar, K. (2021). Dampak Pelaksanaan Perkawinan Poligami terhadap Perempuan dan Anak. Al-Mujtahid: Journal of Islamic Family Law, 1(2), 80-90.
Al-Arif, M. Y. (2017). Problematika Hukum Pengaturan Desa Dalam Konstitusi (Analisis Terhadap Pengaturan Desa Sebelum dan Sesudah Perubahan UUD NRI 1945) (Doctoral dissertation, Universitas Islam Indonesia).
Olivia, F. (2015). Batasan Umur dalam Perkawinan Berdasarkan Hukum. Lex Jurnalica, 12(3), 147974.
Safitri, Y., & Syatar, A. (2022). Peranan dan Efektivitas Hakim di Persidangan Dalam Menekan Angka Perceraian. Shautuna: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Perbandingan Mazhab, 439-448.
Masri, E. (2019). Poligami Dalam Perspektif Undang-Undang Nomor I Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Krtha Bhayangkara, 13(2), 223-241.
Suhaila, D. (2018). Mandul sebagai Alasan Perceraian Analisis Putusan Mahkamah Syar’iyah Jantho pada tahun 2016-2017 (Doctoral dissertation, UIN Ar-Raniry Banda Aceh).
Hamid, H. (2018). Perceraian dan Penanganannya. Jurnal Ilmiah Wahana Pendidikan, 4(3), 24-29.
Toban, H. I. (2021). Pertimbangan Hakim Dalam Hak Asuh Anak Di Bawah Umur Akibat Terjadinya Perceraian. Indonesian Notary, 3(2), 20.
Azizah, L. (2017). Analisis Perceraian dalam Kompilasi Hukum Islam. Al-'Adalah, 9(2), 415-422.
RUSDANI, M. I. STRATEGI PASANGAN INFERTILITAS DALAM MEMPERTAHANKAN.
Hartini, P. D. (2023, December). Teknik Intracytoplasmic Sperm Injection (ICSI) pada In Vitro Fertilization (IVF) untuk Mengatasi Penyebab Infertilitas. In Proceeding Biology Education Conference: Biology, Science, Enviromental, and Learning (Vol. 20, No. 1, pp. 21-27).
SUSYLAWATI, S. (2018). Kewenangan Pengadilan Agama dalam Mengadili Perkara Kewarisan Islam Berdasarkan Undang-Undang Peradilan Agama.
Hanifa Candra, W. REVIEW BUKU PERCERAIAN DI INDONESIA DAN DAMPAKNYA BAGI KEHIDUPAN SOSIAL DAN MASYARAKAT.
Ridwan, I. H. J., & Sudrajat, M. A. S. (2020). Hukum administrasi Negara dan kebijakan pelayanan publik. Nuansa Cendekia.
Fitri, Y., Jamaluddin, J., & Faisal, F. (2019). Analisis Yuridis Perceraian di Luar Pengadilan Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Menurut Pendapat Ahli Fikih Islam. Suloh: Jurnal Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, 7(1), 29-54..