Official website of Himpunan Mahasiswa Program Studi Hukum Keluarga Islam UIN K.H. Abdurrahman Wahid

  • Jelajahi

    Copyright © HMPS HKI UIN GUSDUR
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Menu Bawah

    Hukum Pidana di Indonesia

    HMPSHKI UINGUSDUR Pekalongan
    Minggu, 08 Mei 2022, Mei 08, 2022 WIB Last Updated 2022-05-09T00:06:04Z
    masukkan script iklan disini
    masukkan script iklan disini

    Foto by : google.com
    Di Indonesia mengenal beragam sistem hukum, terutama Hukum Pidana ini. Berbicara mengenai Hukum Pidana secara singkat berarti hukum yang membahas mengenai hukuman, sanksi atau pidana.


    Pada saat kita berbicara mengenai hukum berarti kita berbicara mengenai kumpulan aturan. Hukum Pidana bukanlah perbuatan, tetapi kumpulan aturan yang mengatur mengenai perbuatan yang dapat dihukum. Hukum Pidana merupakan Hukum yang dimana mengatur perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang dan berakibat diterapkannya hukuman bagi siapa yang melakukan dan memenuhi unsur-unsur yang disebutkan dalam Undang-Undang Pidana. Seperti pada halnya perbuatan yang dilarang dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Korupsi, Umdang-Undang HAM. Jadi, dapat diartikan bahwa Hukum Pidana ialah hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan yang dilarang dan memberikannya hukuman bagi siapa saja yang melanggar.

    Adapun perbuatan yang dilarang dalam Hukum Pidana diantaranya:

    1.     1.  Pembunuhan

    2.     2.  Pencurian

    3.     3. Perampokan

    4.     4. Penganiayaan

    5.     5. Pemerkosaan

    6.     6. Korupsi


    Menurut bentuknya, Hukum Pidana dibagi menjadi dua, yakni Hukum Pidana Tertulis dan Hukum Pidana Tidak Tertulis. Hukum Pidana Tertulis terdiri dari Hukum Pidana yang dikondifikasi dan Hukum Pidana yang tidak dikondifikasi. Dikondifikasi dal hal ini berarti dibuat dalam satu buku tertentu, seperti dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).


    Hukum Pidana mempunyai ruang lingkup yaitu apa yang disebut dengan peristiwa pidana atau delik ataupun bisa juga tindak pidana. Menurut Simons peristiwa pidana ialah perbuatan salah dan melawan hukum yang diancam pidana dan dilakukan seseorang yang mampu bertanggung jawab.


    Aturan hukum pidana berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana sesuai asas ruang lingkup berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Asas ruang lingkup berlakunya aturan hukum pidana, ialah:

    1.      1. Asas Teritorialitas (teritorialitets beginsel)

    2.      2. Asas Nasionalitas (actief nationaliteits beginsel)

    3.     3.  Asas Nasionalitas Pasif (pasief nationaliteits beginsel)


    Sudah sering kita jumpai fenomena kasus tindak pidana yang terjadi di Indonesia, khususnya yang sedang marak pada saat ini yaitu “Delik Perkosaan Dalam UU tindak Pidana Kekerasan Seksual”

    Seorang gadis muda diperkosa tetangganya, yang merupakan mantan pacarnya. Korban alami depresi berat dan pernah ingin bunuh diri.


    Korban yang saat itu tengah hamil empat bulan, sempat didampingi keluarganya ke pusat layanan terpadu milik pemerintah untuk meminta pendampingan psikologis. Namun tidak direspon dengan alasan psikolog terbatas, hanya ada dua psikolog yang menyisihkan waktu di antara jadwal mengajarnya yang padat di sebuah kampus.


    Korban sudah dua kali melapor ke kantor polisi setempat. Namun laporannya tidak diterima. Bahkan, setelah didampingi pendamping hukum untuk kembali melaporkan ke Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) polres setempat, tetap gagal meyakinkan kepolisian untuk menerbitkan surat laporan polisi.


    Keterangan korban tidak dipercaya penyidik. Pernyataan-pernyataan seperti “kok mau dibawa pelaku”, “korban kan sudah dewasa”, “maaf tidak ada pasalnya” , “ini sulit dibuktikan ada paksaannya” dan seterusnya sering kali muncul.


    Saat korban pada akhirnya alami kelahiran prematur dan ingin melakukan tes DNA, meskipun ada anggaran untuk Tes DNA yang disediakan provinsi, tetap saja gagal diakses karena korban tidak berhasil mendapat surat pengantar dari kepolisian.

     

    Fenomena di atas mewakili kebanyakan kasus perkosaan yang dialami perempuan, dengan pelaku orang dekat atau dikenal korban seperti pacarnya, mantan pacar, atau teman sebaya tidak mudah diproses laporannya. Pasalnya, sejak awal keterangan korban sudah diragukan.


    Pengalaman perempuan korban perkosaan tidak di-recognize oleh aparat hukum. Bahwa korban jalan dengan pelaku bukan berarti dia mau berhubungan seksual, bahkan ketika korban setuju dengan satu atau lebih bentuk keintiman tertentu.


    Sikap dan pandangan yang dibangun masih cenderung menoleransi pelaku ketimbang korban perkosaan.


    Dalam proses pelaporan, sikap yang ditampilkan penyidik alih-alih empati terhadap korban, justru lebih kental kecurigaan, seolah korban “bukanlah perempuan baik-baik”.


    Bila ditelusuri, aturan perkosaan dalam Pasal 285 KUHP mensyaratkan adanya unsur paksaan dengan penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan.


    Syarat itu sudah membatasi pengalaman korban sejak awal (pelaporan). Meskipun RKUHP sudah memperluas cakupan defenisi perkosaan, tetapi tetap dibatasi oleh unsur yang sama (Pasal 479 (1) RKUHP).

     

    Faktanya, perkosaan yang dialami perempuan tidak selalu melibatkan penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan. Modusnya bisa seperti dengan tipu muslihat, membuat korban tidak berdaya, ancaman/tekanan psikis dan bentuk-bentuk lainnya yang biasanya dilakukan oleh orang yang dikenal atau memiliki hubungan dekat dengan korban.


    Dalam konteks perkosaan, korban mungkin saja setuju terhadap beberapa bentuk keintiman, tetapi tidak untuk melakukan hubungan seksual, atau setuju untuk melakukan hubungan seksual tetapi kemudian memutuskan menghentikan atau menolak untuk melanjutkan, tetapi pelaku tetap memaksakan kehendaknya.Praktik hukum yang terjadi selama ini justru cenderung menyalahkan korban (blaming the victim), dan enggan memproses laporannya.


    Adanya keterbatasan rumusan perkosaan dalam KUHP/RKUHP maupun proses hukum yang bias selama ini, mendorong kelompok perempuan mengupayakan pengaturan norma perkosaan yang lebih luas sekaligus perbaikan hukum acaranya dalam UU (Undang-Undang) TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual).

     

    Adapun perkosaan tidak secara eksplisit diatur dalam UU TPKS karena dianggap sudah diatur dalam KUHP/RKUHP. Meskipun demikian, sebenarnya delik perkosaan tetap diatur melalui Pasal 4 (2) yang dikenal sebagai “pasal jembatan”. Pasal itu menegaskan bahwa perkosaan adalah tindak pidana kekerasan seksual. Sehingga semua hal yang diatur dalam UU TPKS juga berlaku bagi korban perkosaan khususnya hukum acara.


    UU TPKS memberikan sejumlah terobosan penting meliputi cakupan alat bukti seperti barang bukti menjadi alat bukti, informasi/dokumen elektronik, dan surat keterangan psikolog klinis/psikiater/spesialis dokter jiwa sebagai alat bukti surat (Pasal 24). Selain itu UU TPKS memprioritaskan keterangan korban sebagai alat bukti utama (Pasal 25), dan mengakui peran pendamping dalam proses penyidikan, terutama dalam hal korban mengalami trauma berat, penyidik dapat menyampaikan pertanyaan melalui pendamping. (Pasal 54 (3)).


    Pasal 54 (3) merupakan usulan tambahan dari koalisi masyarakat sipil yang sebelumnya tidak ada dalam DIM (daftar inventarisasi masalah) pemerintah maupun DPR, untuk menjembatani antara kepentingan penegakan hukum dengan kepentingan pemulihan yang selama ini belum terintegrasi dalam layanan terpadu. 


    Source: Kompas.com, 16 April 2022, 19:28 WIB

    https://nasional.kompas.com/read/2022/04/16/19283451/delik-perkosaan-dalam-uu-tindak-pidana-kekerasan-seksual?page=2





    Karya : Miftahul Janah

    Editor : Dept. Penelitian dan Pengembangan

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini

    HMPSHKI Universitas K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan

    HMPSHKI UINGSUDR

    +