Di Indonesia mengenal beragam sistem hukum, terutama
Hukum Pidana ini. Berbicara mengenai Hukum Pidana secara singkat berarti hukum
yang membahas mengenai hukuman, sanksi atau pidana.Foto by : google.com
Pada saat kita berbicara mengenai hukum berarti kita
berbicara mengenai kumpulan aturan. Hukum Pidana bukanlah perbuatan, tetapi
kumpulan aturan yang mengatur mengenai perbuatan yang dapat dihukum. Hukum
Pidana merupakan Hukum yang dimana mengatur perbuatan-perbuatan yang dilarang
oleh Undang-Undang dan berakibat diterapkannya hukuman bagi siapa yang
melakukan dan memenuhi unsur-unsur yang disebutkan dalam Undang-Undang Pidana.
Seperti pada halnya perbuatan yang dilarang dalam kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, Undang-Undang Korupsi, Umdang-Undang HAM. Jadi, dapat diartikan bahwa
Hukum Pidana ialah hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan yang dilarang dan
memberikannya hukuman bagi siapa saja yang melanggar.
Adapun perbuatan yang dilarang dalam Hukum Pidana
diantaranya:
1. 1. Pembunuhan
2. 2. Pencurian
3. 3. Perampokan
4. 4. Penganiayaan
5. 5. Pemerkosaan
6. 6. Korupsi
Menurut bentuknya, Hukum Pidana dibagi menjadi dua,
yakni Hukum Pidana Tertulis dan Hukum Pidana Tidak Tertulis. Hukum Pidana
Tertulis terdiri dari Hukum Pidana yang dikondifikasi dan Hukum Pidana yang
tidak dikondifikasi. Dikondifikasi dal hal ini berarti dibuat dalam satu buku
tertentu, seperti dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Hukum Pidana mempunyai ruang lingkup yaitu apa yang
disebut dengan peristiwa pidana atau delik ataupun bisa juga tindak pidana. Menurut
Simons peristiwa pidana ialah perbuatan salah dan melawan hukum yang diancam
pidana dan dilakukan seseorang yang mampu bertanggung jawab.
Aturan hukum pidana berlaku bagi setiap orang yang
melakukan tindak pidana sesuai asas ruang lingkup berlakunya Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana. Asas ruang lingkup berlakunya aturan hukum pidana,
ialah:
1. 1. Asas
Teritorialitas (teritorialitets beginsel)
2. 2. Asas
Nasionalitas (actief nationaliteits beginsel)
3. 3. Asas
Nasionalitas Pasif (pasief nationaliteits beginsel)
Sudah sering kita jumpai fenomena kasus tindak pidana
yang terjadi di Indonesia, khususnya yang sedang marak pada saat ini yaitu “Delik
Perkosaan Dalam UU tindak Pidana Kekerasan Seksual”
Seorang gadis muda diperkosa tetangganya, yang
merupakan mantan pacarnya. Korban alami depresi berat dan pernah ingin bunuh
diri.
Korban yang saat itu tengah hamil empat bulan, sempat
didampingi keluarganya ke pusat layanan terpadu milik pemerintah untuk meminta
pendampingan psikologis. Namun tidak direspon dengan alasan psikolog terbatas,
hanya ada dua psikolog yang menyisihkan waktu di antara jadwal mengajarnya yang
padat di sebuah kampus.
Korban sudah dua kali melapor ke kantor polisi
setempat. Namun laporannya tidak diterima. Bahkan, setelah didampingi
pendamping hukum untuk kembali melaporkan ke Unit Pelayanan Perempuan dan Anak
(UPPA) polres setempat, tetap gagal meyakinkan kepolisian untuk menerbitkan
surat laporan polisi.
Keterangan korban tidak dipercaya penyidik.
Pernyataan-pernyataan seperti “kok mau dibawa pelaku”, “korban kan sudah
dewasa”, “maaf tidak ada pasalnya” , “ini sulit dibuktikan ada paksaannya” dan
seterusnya sering kali muncul.
Saat korban pada akhirnya alami kelahiran prematur dan
ingin melakukan tes DNA, meskipun ada anggaran untuk Tes DNA yang disediakan provinsi,
tetap saja gagal diakses karena korban tidak berhasil mendapat surat pengantar
dari kepolisian.
Fenomena di atas mewakili kebanyakan kasus perkosaan
yang dialami perempuan, dengan pelaku orang dekat atau dikenal korban seperti
pacarnya, mantan pacar, atau teman sebaya tidak mudah diproses laporannya.
Pasalnya, sejak awal keterangan korban sudah diragukan.
Pengalaman perempuan korban perkosaan tidak
di-recognize oleh aparat hukum. Bahwa korban jalan dengan pelaku bukan berarti
dia mau berhubungan seksual, bahkan ketika korban setuju dengan satu atau lebih
bentuk keintiman tertentu.
Sikap dan pandangan yang dibangun masih cenderung
menoleransi pelaku ketimbang korban perkosaan.
Dalam proses pelaporan, sikap yang ditampilkan
penyidik alih-alih empati terhadap korban, justru lebih kental kecurigaan,
seolah korban “bukanlah perempuan baik-baik”.
Bila ditelusuri, aturan perkosaan dalam Pasal 285 KUHP
mensyaratkan adanya unsur paksaan dengan penggunaan kekerasan atau ancaman
kekerasan.
Syarat itu sudah membatasi pengalaman korban sejak
awal (pelaporan). Meskipun RKUHP sudah memperluas cakupan defenisi perkosaan,
tetapi tetap dibatasi oleh unsur yang sama (Pasal 479 (1) RKUHP).
Faktanya, perkosaan yang dialami perempuan tidak selalu melibatkan penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan. Modusnya bisa seperti dengan tipu muslihat, membuat korban tidak berdaya, ancaman/tekanan psikis dan bentuk-bentuk lainnya yang biasanya dilakukan oleh orang yang dikenal atau memiliki hubungan dekat dengan korban.
Dalam konteks perkosaan, korban mungkin saja setuju terhadap beberapa bentuk keintiman, tetapi tidak untuk melakukan hubungan seksual, atau setuju untuk melakukan hubungan seksual tetapi kemudian memutuskan menghentikan atau menolak untuk melanjutkan, tetapi pelaku tetap memaksakan kehendaknya.Praktik hukum yang terjadi selama ini justru cenderung menyalahkan korban (blaming the victim), dan enggan memproses laporannya.
Adanya keterbatasan rumusan perkosaan dalam KUHP/RKUHP
maupun proses hukum yang bias selama ini, mendorong kelompok perempuan
mengupayakan pengaturan norma perkosaan yang lebih luas sekaligus perbaikan
hukum acaranya dalam UU (Undang-Undang) TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual).
Adapun perkosaan tidak secara eksplisit diatur dalam UU TPKS karena dianggap sudah diatur dalam KUHP/RKUHP. Meskipun demikian, sebenarnya delik perkosaan tetap diatur melalui Pasal 4 (2) yang dikenal sebagai “pasal jembatan”. Pasal itu menegaskan bahwa perkosaan adalah tindak pidana kekerasan seksual. Sehingga semua hal yang diatur dalam UU TPKS juga berlaku bagi korban perkosaan khususnya hukum acara.
UU TPKS memberikan sejumlah terobosan penting meliputi cakupan alat bukti seperti barang bukti menjadi alat bukti, informasi/dokumen elektronik, dan surat keterangan psikolog klinis/psikiater/spesialis dokter jiwa sebagai alat bukti surat (Pasal 24). Selain itu UU TPKS memprioritaskan keterangan korban sebagai alat bukti utama (Pasal 25), dan mengakui peran pendamping dalam proses penyidikan, terutama dalam hal korban mengalami trauma berat, penyidik dapat menyampaikan pertanyaan melalui pendamping. (Pasal 54 (3)).
Pasal 54 (3) merupakan usulan tambahan dari koalisi masyarakat sipil yang sebelumnya tidak ada dalam DIM (daftar inventarisasi masalah) pemerintah maupun DPR, untuk menjembatani antara kepentingan penegakan hukum dengan kepentingan pemulihan yang selama ini belum terintegrasi dalam layanan terpadu.
Source: Kompas.com, 16 April 2022, 19:28 WIB
https://nasional.kompas.com/read/2022/04/16/19283451/delik-perkosaan-dalam-uu-tindak-pidana-kekerasan-seksual?page=2
Karya : Miftahul Janah
Editor : Dept. Penelitian dan Pengembangan