Official website of Himpunan Mahasiswa Program Studi Hukum Keluarga Islam UIN K.H. Abdurrahman Wahid

  • Jelajahi

    Copyright © HMPS HKI UIN GUSDUR
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Menu Bawah

    Dampak Media Sosial Terhadap Kohensi Sosial.

    HMPSHKI UINGUSDUR Pekalongan
    Senin, 15 Juli 2024, Juli 15, 2024 WIB Last Updated 2024-07-15T08:42:40Z
    masukkan script iklan disini
    masukkan script iklan disini



    Picture by google




    Abstrak 


    Media sosial memainkan peran utama dalam komunikasi publik di banyak negara. Oleh karena itu, hal ini berdampak besar pada masyarakat dan kohesi mereka. Isu tematik ini mengeksplorasi dampak media sosial terhadap kohesi sosial di tingkat lokal atau nasional.Kesembilan artikel dalam terbitan ini berfokus pada potensi penggunaan media sosial untuk mendorong kohesi sosial dan kemungkinan kelemahan media sosial yang dapat berdampak negatif terhadap pengembangan dan pemeliharaan kohesi sosial. Kohesi sosial dikaji dari berbagai perspektif dengan atau tanpa latar belakang krisis, dan pada berbagai platform media sosial. Gambaran yang muncul mengenai media social adalah pedang bermata dua.

    Kata Kunci: kohesi sosial; kesenjangan sosial; media sosial;

     

    1. PENDAHULUAN. 

      Media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan WhatsApp digunakan oleh mayoritas penduduk di banyak negara. Media sosial memungkinkan pengguna untuk membuat konten dan berbagi konten dan berpartisipasi dalam social (van Dijck & Poell, 2013).Media massa pun sudah memasuki era digital dan berperan aktif di media sosial. Dalam hitungan detik,konten apa pun bisa diedarkan ke ribuan orang. Karena banyaknya informasi dan sumber data yang beragam,semakin sulit bagi masyarakat untuk memutuskan apakah konten media sosial dapat dipercaya.

      Di masa krisis global seperti pandemi Covid-19, perubahan iklim, perang, atau krisis keuangan,masyarakat terancam kehilangan stabilitas dan kohesi sosial. (Dayrit & Mendoza, 2020). Meningkatnya akun palsu, informasi palsu, dan upaya manipulasi tersembunyi menimbulkan tantangan tambahan bagi masyarakat demokratis. Di sisi lain, media sosial dapat membantu membina komunikasi antar warga dan memperkuat perekat yang menyatukan masyarakat. Hal ini juga dapatm memungkinkan warga negara untuk berkomunikasi lintas batas dan memperkuat ideologi bersama. (Dayrit & Mendoza, 2020) Dalam edisi tematik ini, kami menerbitkan artikel teoretis dan empiris yang mengeksplorasi kohesi sosial di media sosial dari berbagai perspektif.

     

    2. MEMPROMOSIKAN KOHESI DAN KETERHUBUNGAN SOSIAL MELALUI MEDIA SOSIAL. 

       Penggunaan media sosial menunjukkan potensi besar dalam membina dan menjaga kohesi sosial,setidaknya untuk suatu kelompok atau masyarakat. Peluang-peluang ini dikaji dari sudut pandang berbeda dalam dua artikel pertama terbitan ini (Robaeyst dkk.2022).Artikel tersebut mengkaji bagaimana praktik komunikasi di Online Neighborhood Networks (ONN) mempengaruhi kohesi sosial masyarakat sekitar. Temuan mereka mengungkapkan pentingnya, antara lain, praktik pertukaran informasi demi kepercayaan, saling mendukung, dan rasa kebersamaan.

      Sementara hasilnya juga menunjukkan hubungan terbalik ketika ONN secara eksplisit dianggap sebagai alat pertukaran informasi.Dengan karyanya, penulis menambah pemahaman teoritis ONN dalam kaitannya dengan kohesi sosial.Isu tematik kemudian beralih ke keterhubungan sosial yang dipromosikan melalui penggunaan media sosial. Dalam artikel mereka, Pit dkk. (2022) meninjau secara kritis temuan penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa penggunaan media sosial secara pasif berdampak buruk pada kesejahteraan individu,berbeda dengan penggunaan aktif yang terbukti meningkatkan kesejahteraan.

       Penulis melakukan dua eksperimen untuk menguji kemampuan penggunaan Facebook aktif dan pasif dalam memulihkan keterhubungan sosial setelah pengucilan. Mereka menegaskan bahwa penggunaan aktif Facebook dapat memulihkan keterhubungan sosial dibandingkan dengan menggunakan situs non-sosial; namun, mereka menemukan bukti yang menunjukkan bahwa penggunaan media sosial secara pasif tidak membahayakan keterhubungan sosial dan, dalam keadaan tertentu, justru dapat meningkatkannya,berbeda dengan klaim dalam literatur bahwa hal itu berbahaya.

     

    3. MEDIA SOSIAL MERUGIKAN KOHESI SOSIAL. 

      Meskipun artikel di atas memperjelas bahwa penggunaan media sosial dapat memberikan beberapa manfaat bagi kohesi sosial, beberapa artikel berikut menjelaskan kelemahan-kelemahannya, serta ancaman-ancaman terhadap kohesi sosial yang mungkin tidak secara langsung disebabkan oleh media sosial, namun terungkap dan, dalam beberapa hal, kasus-kasus, mungkin diperburuk oleh media sosial.di bagian pertama artikel ini, Frischlich (2022) berfokus pada kelompok virtual teori konspirasi.

     Asumsinya adalah konsumsi teori konspirasi berkontribusi pada mobilisasi dan radikalisasi protes terkait Covid-19. Dengan menggunakan pendekatan metode campuran yang melibatkan analisis konten kualitatif dan pengelompokan hierarki, penulis menyelidiki teori konspirasi di grup Facebook publik Jerman sepelua pandemi Covid-19. Penulis menunjukkan bagaimana grup-grup Facebook ini memberikan struktur peluang untuk memobilisasi tindakan kolektif non-normatif, dan khususnya seberapa lazim variabel-variabel psikologis yang terkait dalam kelompok-kelompok ini.

       Hannan dkk. (2022) menyelidiki gerakan anti-vaksinasi di Twittersphere Jerman dan Brasil. Tujuannya adalah untuk memetakan dan membandingkan komunikasi media sosial mengenai gerakan anti-vaksinasi yang menyebarkan informasi palsu di Jerman dan Brasil. Dalam analisis kualitatif narasi Jerman dan Brasil mengenai gerakan anti-vaksinasi di Twitter, konten komunikasi media sosial para pemimpin opini gerakan-gerakan tersebut diberi kode. Di kedua negara, narasi utama yang menentang vaksinasi serupa, namun perbedaan utamanya terletak pada semakin kuatnya olitisasi vaksin dalam konteks Brasil.Analisis kualitatif komunikasi Covid‐19 yang selesaikan oleh Pérez‐Curiel dkk. (2022) yang secara kuantitatif membandingkan komunikasi politisi dan pakar mengenai Covid-19 di lima negara. Para penulis menganalisis kerangka isu dan permainan dan menemukan perbedaan besar antara politisi dan pakar; komunikasi pakar lebih terfragmentasi dan kurang miliki tujuan. Peran inisiatif pengecekan fakta juga diperiksa.

     Ditemukan bahwa mereka terutama menanggapi kerangka kerja yang dibuat oleh para politisi untuk menghindari penyebaran informasi yang salah.Terakhir, risiko mmempromosikan rasisme melalui media sosial diselidiki oleh Pratiwi dkk. (2021) yang menilai media memetika rasis di TikTok saat Covid-19 merupakan konten humor yang merugikan. Langkah-langkah untuk memfasilitasi kohesi sosial berfokus pada konten yang jelas-jelas bermasalah seperti misinformasi dan ujaran kebencian, serta mengabaikan praktik-praktik yang lebih biasa seperti humor. Penulis menunjukkan betapa humor di media sosial bisa berbahaya. Pengaruhnya terhadap kesenjangan sosial melalui normalisasi stereotip rasial dikaji dengan menggunakan pendekatan metode campuran. Hasilnya, berdasarkan analisis konten TikTok, membantu mengoreksi persepsi yang meremehkan humor. Kontribusi mereka memperluas bidang ini melampaui perdebatan yang ada tentang ekstremisme online, ujaran kebencian, dan misinformasi sebagai tantangan utama terhadap kohesi sosial.

     

    4. SOSIAL MEDIA SEBAGAI PEDANG BERMATA DUA. 

      Meskipun kita dapat mengkategorikan secara luas dampak media sosial terhadap kohesi sosial menjadi positif dan negatif, kategorisasi seperti itu tidak adil terhadap realitas yang kompleks. Hal ini menjadi jelas dalam banyak artikel kami yang diterbitkan. Meminjam frasa yang digunakan oleh LePhuong dkk. (2022, hlm. 192) dalam kontribusinya, media sosial benar-benar merupakan pedang bermata dua. Dalam artikel mereka, mereka mengkaji perempuan migran Vietnam dan menunjukkan bahwa media sosial dapat memberikan manfaat bagi kelompok yang kurang beruntung dengan memberi mereka kesempatan untuk terlibat di ruang publik, namun akses terhadap peluang ini terbatas, sehingga memperkuat kesenjangan sosial.

      Dalam wawancara mendalam, mereka mengungkap alasan yang secara signifikan menghambat partisipasi media sosial, terkait gender, etnis, dan kelas sosial. Meski begitu, penulis menyimpulkan bahwa media sosial tetap menjadi platform penting untuk tujuan komunikatif bagi kelompok minoritas.Ketimpangan sosial juga menjadi inti argumen dalam artikel Bisiada (2022) yang berpendapat bahwa debat publik selama pandemi Covid-19, yang sebagian besar dilakukan melalui media sosial, telah mengungkap kesenjangan struktural yang mendasar dan bahwa kelas adalah hal yang sentral. salah satu faktor polarisasi sosial yang terjadi sejak saat itu. 

     Artikel ini memperingatkan bahwa mengkambinghitamkan dan melakukan moralisasi, termasuk di media sosial, dapat berkontribusi terhadap fragmentasi masyarakat lebih lanjut.Penulis menekankan betapa pentingnya kita menyadari hal ini untuk menghindari kesalahan serupa dalam keadaan darurat iklim.


    5. KESIMPULAN. 

      Isu tematik ini memberikan pandangan luas tentang Potensi dan risiko media sosial bagi pengembangan dan prmeliharaan kohesi sosial. Kohesi sosial dikaji dari perspektif berbeda dalam sembilan artikel penelitian yang menjelaskan berbagai cara media sosial dapat membantu masyarakat berkembang, menghambat kohesi sosial, atau menyoroti kesenjangan sosial yang ada. Artikel-artikel yang menggugah pemikiran ini mengangkat pertanyaan penelitian penting yang akan merangsang penelitian di masa depan untuk mengeksplorasi lebih jauh dampak media sosial. Media sosial pada kohesi sosial.

     

     




    Penulis : Farendra Budi Saputra. 



    Sumber :

    Bisiada, M. (2022). Discourse and social cohesion in and after the Covid19 pandemic. Media and communication, 10(2), 204–213.

    Dayrit, M. M., & Mendoza, R. U. (2020). Social cohesion vs Covid19. International Journal of Health Governance, 25(3), 191–203. https://doi.org/10.1108/IJHG0320200022

    Frischlich, L. (2022). “Resistance!”: Collective action cues in conspiracy theoryendorsing Facebook groups. Media and Communication, 10(2), 130–143.

    Hannan, Abd. "Design of Integration of Religion and sience in Handling Covid-19 Perspective of Ismail Raji Al Faruqi's Thought." Tribakti: Jurnal Pemikiran Keislaman 33.1 (2022): 57-82.

    LePhuong, L., Lams, L., & De Cock, R. (2022). Social media use and migrants’ intersectional positioning: A case study of Vietnamese female migrants. Media and Communication, 10(2), 192–203.

    Pratiwi, Andi Misbahul. "Mengupayakan Keadilan Bagi korban Kekerasan Seksual Melalui Aktivisme tagar: Kesempatan dan Kerentanan di Indonesia (Initiating Justice for Sexual Violence Victims via Hashtag Activism: Opportunity and vulnerability In Contemporary Indonesia)." Jurnal Perempuan 26.3 (2021): 197-206.

    PérezCuriel, C., RúasAraújo, J., & RivasdeRoca, R.(2022). When politicians meet experts: Disinformation on Twitter about Covid19 vaccination. Media and Communication, 10(2), 157–168.Pit, I. L., Veling, H., & Karremans, J. C. (2022). Does passive Facebook use promote feelings of social connectedness? Media and Communication, 10(2), 119–129.

     

    Robaeyst, B., Baccarne, B., De Meulenaere, J., & Stieglitz, S., Brachten, F., Berthelé, D., Schlaus, M., Venetopoulou, C., & Veutgen, D. (2017). Do social bots (still) act different to humans? Comparing metrics of social bots with those of humans. In G. Meiselwitz (Ed.), SCSM 2017: Social computing and socialmedia—Human behavior (pp. 379–395). Springer.https://doi.org/10.1007/9783319598_30van Dijck, J., & Poell, T. (2013). Understanding social media logic. Media and Communication, 1(1), 2–14. https://doi.org/10.12924/mac2013.01010002.

     

     



    Komentar

    Tampilkan

    Terkini

    HMPSHKI Universitas K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan

    HMPSHKI UINGSUDR

    +