Official website of Himpunan Mahasiswa Program Studi Hukum Keluarga Islam UIN K.H. Abdurrahman Wahid

  • Jelajahi

    Copyright © HMPS HKI UIN GUSDUR
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Menu Bawah

    PERCERAIAN AKIBAT SELINGKUH DILIHAT DARI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM TATA NEGARA

    HMPSHKI UINGUSDUR Pekalongan
    Minggu, 30 Juli 2023, Juli 30, 2023 WIB Last Updated 2024-03-24T13:55:21Z
    masukkan script iklan disini
    masukkan script iklan disini

    Foto by google

    Islam merupakan agama rahmatan lil alamin berada di dalamnya mengatur mengenai hubungan antara sesama makhluk-nya. Selain itu hubungan di dalamnya dapat berupa ikatan dalam perkawinan. Perkawinan merupakan proses pengikatan janji suci antara kaum laki-laki dan perempuan. Pernikahan adalah ibadah yang mulia dan suci. Pernikahan tidak boleh dilakukan sembarangan karena ini merupakan bentuk ibadah terpanjang dan dapat dijaga hingga maut memisahkan

    Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwasanya perkawinan adalah sesuatu yang sangat sakral, baik dipandang dari segi norma agama, sosial, dan juga di kalangan masyarakat. Dalam Hukum Islam apabila daam suatu pernikahan mengalami perselisihan yang terus menerus dan tidak dapat diselesaikan dengan baik hingga mengakibatkan kegoncangan yang hebat bisa mejadi faktor perceraian.

    Namun apabila usaha perdamaian tersebut tidak berhasil dilakukan, maka perceraian adalah jalan terakhir bagi keduanya. Wewenang untuk menjatuhkan talak diletakkan pada laki-laki. Hal ini dimungkinkan karena seorang laki-laki biasanya lebih rasionalitas dibanding dengan wanita yang biasanya lebih emosional.

    Pada kehidupan masyarakat telah terjadi banyak kasus dan fenomena tentang penyimpangan dalam hubungan pernikahan, baik antara suami istri maupun keluarga lainnya. Perbuatan penyimpangan yang paling terjadi dan papuler ialah perselingkuhan. Fenomena perselingkuhan merupakan permasalahan dalam pernikahan yang tidak pernah hilang, bahkan selalu meningkat. Perbuatan perselingkuhan tersebut menyalahi norma sosial dan juga agama islam, perselingkuhan tidak diterima oleh masyarakat karena dapat merusak keharmonisan pasangan suami istri, selain dari sisi kemasyarakatan tindakan perselingkuhan juga dilarang oleh agama karena banyak terjadi pelanggaran syari’at di dalamnya.

    Perselingkuhan merupakan perilaku seksual dan/atau hubungan emosional romantis yang dilakukan salah satu atau kedua pasangan terhadap lawan jenisnya di luar pernikahan. Tidak hanya berdampak pada perceraian, perselingkuhan juga dapat menimbulkan berbagai dampak negatif lainnya, baik dari pasangan korban maupun anak korban. Perselingkuhan dapat menghilangkan kepercayaan diri maupun kepercayaan terhadap pasangan, memicu kekerasan psikis antara pasangan, hingga tindakan kriminal seperti pembunuhan.

    Seperti pada kasus perceraian akibat selingkuh yang terjadi pada satu keluarga di Kelurahan Desa Samong, yakni seorang suami yang sudah mengalami kebosanan terhadap istrinya dikarenakan seringnya terjadi pertengkaran dengan istrinya. Hingga akhirnya ia memilih untuk berselingkuh dengan wanita lain, bahkan sampai ke jenjang pernikahan. Sedangkan istrinya yang berada di rumah merasa sudah tidak nyaman dan tidak bisa lagi membina rumah tangga dengan suaminya.

    Pokok persoalan terjadi perselingkuhan yang dapat menyebabkan perceraian adalah komunikasi yang terputus antara suami dan istri. Suami yang bekerja di luar rumah lebih mudah berinteraksi dengan lawan jenisnya dibanding dengan istri yang bekerja sebagai ibu rumah tangga. Disamping itu yang memicu terjadinya perselingkuhan adalah faktor kurangnya pemahaman antara satu dengan lainnya, dimana suami/istri tidak lagi memperhatikan kewajiban masing-masing, sehingga tidak terpenuhi segala bentuk kebutuhan rumah tangga. Faktor inilah yang menjadi salah satu alasan mereka melakukan perselingkuhan.

    Dalam pandangan islam, selingkuh merupakan perbuatan yang tidak baik, dan bertentangan dengan nilai-nilai agama. Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan pada pasal 39 ayat (1) No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dijelaskan bahwa putusnya perkawinan yang disebabkan oleh perceraian hanya bisa dilakukan dihadapan sidang pengadilan, tentunya setelah pengadilan mengadakan usaha mendamaikan kedua belah pihak terlebih dahulu namun tidak berhasil. Pasal 39 ayat (2) UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan juga memaparkan bahwa untuk melakukan perceraian harus didasari oleh alasan yang cukup kuat bahwa kedua belah pihak tidak dapat lagi hidup rukun sebagai suami istri.

    Alasan-alasan terjadinya perceraian dalam pasal 39 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan adalah:

    Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

    Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuan;

    Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

    Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;

    Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri;

    Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

    Terjadi satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

    Dari beberapa faktor yang mempengaruhi perceraian di atas, maka yang menjadi fokus dari perceraian ini adalah karena faktor selingkuh. Perceraian akibat selingkuh menurut asumsi peneliti adalah diakibatkan karena kurangnya keharmonisan dalam keluarga. Perlunya suatu payung hukun untuk memberikan perlindungan dan menjamin kepastian hak dan kewajiban suami dan istri dalam membina kelangsungan rumah tangga untuk mencapai tujuan perkawinan sebagaimana asas atau prinsip perkawinan yang terdapat dalam UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 39 Ayat (2) dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 19.

    METODE  DAN PEMBAHASAN 
    Jenis Penelitian
    Kajian penelitian ini dilakukan melalui pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif analitis. Penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis. Sedangkan yang dimaksud penelitian dengan menggunakan metode deskriptif analitis adalah metode yang menggambarkan dan memberikan analisa terhadap kenyataan.

    Kriteria Sumber Data
    Data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder.

    Data Primer
    Didapatkan dari kasus perceraian yang terjadi di sebuah desa.

    Data Sekunder
    Data sekunder ini adalah data yang diperoleh dengan cara mengadakan studi kepustakaan atas dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah-masalah yang diajukan. Terdiri dari Al-Qur’an, Al-Hadist, Undang-undang, Perspektif Hukum Islam dan Hukum Tata Negara, buku-buku ilmiah serta buku-buku yang berkaitan dengan penelitian ini.

    HASIL DAN PEMBAHASAN
    Pengertian Perceraian
    Perceraian menurut ahli fikih disebut talaq atau firqoh. Talak diambil dari kata itlaq artinya melepaskan, atau meninggalkan. Sedangkan dalam istilah syara’, talak adalah melepaskan ikatan perkawinan, atau rusaknya hubungan perkawinan. Menurut bahasa talak (perceraian) berarti menguraikan, melepaskan atau meninggalkan. Sedangkan menurut istilah berarti melepaskan tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri.
    Di Indonesia peraturan yang mengatur tentang perceraian adalah Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerinrah No.9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 akan tetapi, di dalamnya tidak ditemukan interpretasi mengenai istilah perceraian.

    Menurut R. Subekti perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan keputusan hakim atau tuntutan salah satu pihak selama perkawinan. Sedangkan pengertian perceraian menurut bahasa Indonesia berasal dari suku kata cerai, dan perceraian yang berartiperpisahan, perihal bercerai antar suami dan istri, perpecahan, menceraikan.

    Dari beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa perceraian adalah putusnya ikatan perkawinan antara suami istri yang dilakukan atas kehendaknya suami dan istri tersebut atau karena adanya putusan pengadilan.

    Syarat-Syarat Perceraian
    Syarat merupakan penentuan dalam perbuatan hukum, terlebih apabila menyangkut dengan keabsahan atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi agama dan hukum. 

    Syarat-syarat tersebut ialah:
    Suami yang sah dalam pernikahan dan juga, dan juga suami harus berada dalam kondisi: baligh, berakal sehat, atas kemauan sendiri dan tidak dipaksakan.

    Untuk dapat terlaksananya perceraian, istri harus berada dalam kekuasaan suami.
    Sighat perceraian, ialah lafadz yang diucapkan suami ketika menceraikan istrinya, baik dengan perkataan yang jelas, tulisan, isyarat bagi suami yang menyandang tuna wisma ataupun sindiran yang bermakna sama, semua cara tersebut hukumnya sah apabila dilakukan seorang suami secara sadar.

    Pengertian Selingkuh
    Selingkuh merupakan sebuah pengingkaran terhadap suatu komitmen dalam pernikahan yang monogami serta dilakukan dengan diam-diam oleh salah seorang pasangan. Karena dalam pernikahan komitmen ialah suatu yang berharga dan seharusnya dijaga dengan baik agar tidak rusak, apabila komitmen tersebut sudah rusak maka hal-hal lainnya yang berkaitan dengan pernikahan akan ikut rusak.

    Perselingkuhan apapun itu bentuknya pasti tetap mengandung unsur dusta dan juga kebohongan baik istri kepada suami atau suami kepada istri, dari unsur pernikahan tersebut tidak dapat lagi terbangun di atasnya karena hilangnya rasa saling kepercayaan antar satu sama lain, dan juga sangat bertentangan dengan prinsip pernikahan itu sendiri, yakni mitsaqon ghalizhan. Selingkuh dibagi menjadi dua macam  ialah:

    Selingkuh Ringan
    Yaitu apabila salah seorang dari pasangan pernikahan yang sah melakukan salah satu ata beberapa perbuatan yang mendekati zina, yakni sms mesra pada lawan jenis selain pasangan sahnya, telponan mesra, semuanya dilakukan tanpa sepengetahuan pasangan sahnya.
    Dari selingkuh ringan inilah segala sesuatu bermula hingga menjadi kategori selingkuh yang berat atau berzina, dan pastinya perbuatan zina ini sangat menyakiti hati pasangan sahnya, merendahkan kehormatan yang sudah terjaga serta sikap menyepelekan kehadiran pasangannya.
    Selingkuh Berat

    Yaitu kondisi dimana pasangan yang berselingkuh telah melakukan perbuatan zina yang  dilarang oleh agama. Apabila perselingkuhan telah sampai pada tahap ini, maka sebaiknya pihak yang diselingkuhi melapor pada polisi atau pihak yang berwenang untuk menyelesaikan perkara perselingkuhan tersebut. Perselingkuhan dapat membuat salah satu pasangan pernikahan merasa tidak dihargai lagi dan tidak dianggap, sehimgga beralih mencari orang lain yang dirasa lebih tepat.
    Faktor yang mengibatkan perselingkuhan di dalam rumah tangga yang paling sering dijumpai ialah ketika suami atau istri tidak dapat menahan hawa nafsunya kepada orang lain, selain itu ada juga faktor lain yang menyebabkannya, yakni;

    Perasaan bosan. Pasangan suami istri yang sudah mengalami masa bosan pada pasangannya terkadang akan melirik pada orang lain agar meghilang rasa bosannya, dan kejadian seperti ini kerap memudahkan kasus perselingkuhan terjadi.

    Pasangan suami istri sudah tidak perhatian lagi antara sesama. Pada pasangan suami istri pada hari ke hari perhatiannya semakin berkurang, maka hal ini dapat menyebabkan terjadinya perselingkuhan karena berpikir bahwasanya dengan berselingkuh akan mendapatkan perhatian yang lebih baik ketimbang dari pasangannya.

    Perasaan cinta kepada pasangan telah pudar. Pudarnya perasaan cinta kepada pasangannya juga dapat menyebabkan terjadinya perselingkuhan.

    Bekerja dalam jarak jauh dengan suami atau istri. Bagi pasangan suami atau istri yang bekerja dengan jarak jauh dari pasangannya cenderung akan mengalami rasa kesepian seorang diri, dikarenakan pasangannya jauh di sana, maka untuk dapat mengusir rasa kesepiannya tidak jarang didapatkan suami atau istri berselingkuh.

    Karena godaan dari pihak lain. Bagi pasangan yang salah satunya bekerja di luar dan kondisinya sangat memungkinkan terjadinya khalwat, serta di tempat kerjanya mendapat godaan dari pihak luar untuk berselingkuh, apabila suami istri tidak dapat saling menjaga rasa cintanya maka akan sangat mudah sekali jauh ke dalam perselingkuhan.

    Perceraian akibat selingkuh dilihat dari perspektif hukum islam dan hukum tata negara
    Berdasarkan data yang telah diperoleh, peneliti dapat menyimpulkan bahwa perceraian akibat selingkuh di  Kelurahan Desa Samong, bahwa   pada mulanya bapak C dan ibu F menikah karena berpacaran. Rumah tangga yang mulanya harmonis mulai retak karena bapak C berselingkuh, bahkan sampai menikahi selingkuhannya di belakang ibu F. Faktor yang menjadi penyebab dalam perselingkuhan ialah: pertama, sering terjadi pertengkaran dan perselisihan antara suami istri yang mengakibatkan suami merasa bosan serta tidak memiliki kenyamanan di rumah . Kedua, karena antara pasangan suami istri sudah tidak saling perhatian. Ketiga, suami lebih memilih berada di luar rumah serta lebih banyak waktu di tempat kerja. Keempat, timbulnya pemikiran bahwa  pasangannya  memiliki banyak kekurangan sehingga menjadi sosok lain untuk dapat menghilangkan kepenatan terhadap istri.

    Setelah perkara perselingkuhan tersebut masuk ke pengadilan, dan pernikahan tersebut telah fasad atau rusak tidak bisa dilanjutkan kembali, setelah itu suami istri sudah resmi bercerai di pengadilan. Suami langsung pergi bersama istri barunya, sedangkan mantan istri dan anaknya pergi merantau ke luar kota.

    Perspektif Hukum Islam
    Pandangan Hukum Islam mengenai perceraian akibat selingkuh harus ditangani dengan benar sesuai dengan yang sudah ditetapkan di dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Pada mulanya bapak C dan ibu F menikah karena berpacaran, padahal dalam islam tidak mensyariatkannya. Apabila perintah Allah dijalankan dengan baik, maka tidak akan terjadi kerusakan, namun jika tidak menaatinya pasti ada akibatnya. Baik dampak itu langsung terjadi maupun di lain waktu. Perselingkuhan antara bapak C dengan wanita lain tersebut sampai ke jenjang pernikahan. Allah telah menjelaskan dalam Q.S al-Isra:32 ;

    سَبِيلً وَسَآءَ فَٰحِشَةً كَانَ إِنَّهُۥ ٱلزِّنَىٰٓ تَقْرَبُوا۟ وَلَا 
    Ayat diatas menerangkan tentang larangan mendekati perbuatan zina atau selingkuh, karena dampak yang diakibatkan sangatlah buruk serta mengundang banyak kerusakan dan musibah, baik itu merusak diri sendiri, orang lain dan keluarga. Selain dampak di dunia  ganjaran yang sangat pedih di akhirat harusnya cukup untuk menjadi pengingat bagi orang yang hemdak melakukan dosa.  Agama islam sangat membenci perceraian, akan tetapi jika perceraian itu adalah jalan terakhir, maka Allah akan mencukupkan karunianya kepada maning-masing suami dan istri. 

    Perspektif Hukum Tata Negara
    Hukum perkawinan di Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal Undang-Undang No. 1 Tahun 1074 tentang Perkawinan mengatur bahwa: “Perkawinan ialah ikatan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

    Namun adanya godaan dari pihak ketiga yang menyebabkan perselingkuhan. Dampaknya menyebabkan keretakan hubungan rumah tangga hingga perceraian. Kasus perselingkuhan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) diatur dalam pasal 284 KUHP, yang berbunyi: Dihukum penjara selama-lamanya 9 (sembilan) bulan, laki-laki yang beristri berbuat zina sedang diketahuinya bahwa pasal 27 KUH Perdata berlaku padanya, dan perempuan yang bersuami berbuat zina.

    Perbuatan perselingkuhan atau perzinahan merupakan delik aduan yang hanya dapat dituntut jika ada pengaduan dari pihak yang mempunyai hak untuk mengadukan hal tersebut (vide pasal 284 ayat 2 KUHP).  Pengaduan pun oleh hukum dibatasi dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak peristiwa tersebut diketahui atau dalam jangka waktu 9 (sembilan) bulan.

    Khusus kasus perselingkuhan atau perzinahan, akan diproses oleh pihak kepolisian jika ada bukti yang cukup bahwa telah terjadi perselingkuhan tersebut dan saat itu juga harus disertai dengan adanya gugatan perceraian dari pihak suami atau istri yang dirugikan tersebut (vide pasal 284 ayat 5 KUHP). Tanpa adanya gugatan cerai, maka kasus perselingkuhan tidak dapat dilanjutkan ke pengadilan., walaupun peristiwa tersebut bisa dibuktikan benar-benar terjadi.

    KESIMPULAN
    Perselingkuhan merupakan sebab terjadinya perceraian antara C dan F. Terdapat  beberapa  faktor yang  menjadi penyebab terjadinya perselingkuhan tersebut , yaitu: pertama, sering terjadi oertengkaran dan perselisihan antara  suami istri yang mengakibatkan suami merasa bosan serta tidak memiliki kenyamanan ketika di rumah. Kedua, karena antara pasangan suami istri sudah tidak saling perhatian. Ketiga suami lebih memilih berada di luar rumah serta memilih lebih banyak menghabiskan waktu di tempat kerja dan jarang berhubungan baik dengan istri, dari situlah ada pihak ketiga yang mulai merusak hubungan rumah tangga antara suami istri. Kelima, timbulnya pemikiran bahwa pasanganya memiliki banyak kekurangan sehingga mencari sosok lain untuk dapat menghilangkan kepenatannya terhadap istri. Setelah perkara tersebut masuk ke pengadilan, maka di putuskan suami istri tersebut resmi bercerai. 

    Dalam Hukum Islam mengenai kasus perceraian akibat selingkuh ialah, apabila pernikahan yang di dalamnya terjadi banyak pertengkaran yang mengakibatkan ketidakharmonisan antara suami istri, serta tidak ada lagi kepercayaan diantara keduanya, jika pernikahan tersebut tetap dilanjutkan akan membawa dampak lebih buruk lagi bagi seluruh anggota keluarga, maka demi mencegah bahaya yang lebih besar lagi, perceraian boleh bahkan dianjurkan untuk dilakukan.

    Kasus perselingkuhan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) diatur dalam pasal 284 KUHP, yang berbunyi: Dihukum penjara selama-lamanya 9 (sembilan) bulan, laki-laki yang beristri berbuat zina sedang diketahuinya bahwa pasal 27 KUH Perdata berlaku padanya, dan perempuan yang bersuami berbuat zina.

    Perbuatan perselingkuhan atau perzinahan merupakan delik aduan yang hanya dapat dituntut jika ada pengaduan dari pihak yang mempunyai hak untuk mengadukan hal tersebut (vide pasal 284 ayat 2 KUHP).  Pengaduan pun oleh hukum dibatasi dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak peristiwa tersebut diketahui atau dalam jangka waktu 9 (sembilan) bulan.
    Khusus kasus perselingkuhan atau perzinahan, akan diproses oleh pihak kepolisian jika ada bukti yang cukup bahwa telah terjadi perselingkuhan tersebut dan saat itu juga harus disertai dengan adanya gugatan perceraian dari pihak suami atau istri yang dirugikan tersebut (vide pasal 284 ayat 5 KUHP). Tanpa adanya gugatan cerai, maka kasus perselingkuhan tidak dapat dilanjutkan ke pengadilan., walaupun peristiwa tersebut bisa dibuktikan benar-benar terjadi

    Penulis : Fatihatul latifah
    Komentar

    Tampilkan

    Terkini

    HMPSHKI Universitas K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan

    HMPSHKI UINGSUDR

    +