Nikah kontrak atau dalam Islam dikenal dengan nikah mut’ah. Dikatakan demikian karena nikah mut’ah memiliki jangka waktu tertentu, dan apabila sudah mencapai batas
waktu itu maka akan terjadi perceraian tanpa adanya talaq. Dengan perkembangan
masyarakat yang begitu dinamis, tak menutup kemungkinan banyak memunculkan
fenomena - fenomena baru dikehidupan masyarakat, tak terkecuali dengan
pernikahan yang salah satunya adalah nikah mut’ah.
Pada masa transisi dari zaman jahiliyah kepada Islam nikah mut'ah
sendiri pernah diperbolehkan. Akan
tetapi, Rasulullah saw kemudian melarang adanya nikah mut'ah. Dari Ar-Rabi' bin
Sabrah Al-Juhani berkata, bahwa ayahnya berkata kepadanya bahwa Rasulullah saw
bersabda, "Wahai manusia, dahulu aku mengizinkan kamu nikah mut'ah.
Ketahuilah bahwa Allah swt telah mengharamkannya sampai hari kiamat." (HR.
Muslim).
Dalam hadits yang diriwayatkan At-Tirmizy, Abdullah bin Abbas ra
mengatakan bahwa nikah mut'ah pernah dibolehkan di awal-awal pensyariatan. Saat
itu, seseorang yang mengembara di suatu negeri tanpa memiliki pengetahuan
berapa lama akan tinggal, lalu dia menikah dengan seorang wanita sekadar masa
bermukim di negeri itu, istrinya itu memelihara hartanya dan mengurusinya,
hingga turunnya ayat yang berbunyi: orang-orang yang menjaga kemaluannya
kecuali kepada istrinya dan budaknya.
Sebab itulah, para ulama dari seluruh mazhab pun menyepakati bahwa nikah mut'ah hukumnya haram dan menggolongkan
dalam jenis pernikahan yang bathil. Bahkan, pelaku nikah disamakan dengan
pezina. Sahabat Nabi saw, Umar bin Khattab, menganggap nikah mut'ah sebagai
sebuah kemungkaran. Selain itu, pelakunya diancam dengan hukum rajam, karena
tidak ada bedanya dengan zina.
Pada zaman sekarang, semakin jelas akan keharaman nikah mut'ah.
Karena, jika dilihat dari rukunnya sendiri, nikah mut'ah tergolong bathil
karena ketiadaan wali, saksi dan adanya pembatasan masa nikah yang menyebabkan
pernikahan tidak sah. Kalau pun ada saksi dan wali, tidak jarang para pelakunya
adalah palsu. Selain itu, nikah mut’ah tidak sejalan dengan tujuan perkawinan
yang diharapkan Alquran. Dalam hal ini, suatu pernikahan tentunya diharapkan
langgeng, sehidup dan semati, bahkan sampai hari kiamat.