Official website of Himpunan Mahasiswa Program Studi Hukum Keluarga Islam UIN K.H. Abdurrahman Wahid

  • Jelajahi

    Copyright © HMPS HKI UIN GUSDUR
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Menu Bawah

    Perbedaan Perspektif Hukum Dalam Pembagian Waris di Indonesia

    HMPSHKI UINGUSDUR Pekalongan
    Kamis, 09 Juni 2022, Juni 09, 2022 WIB Last Updated 2022-06-10T05:47:07Z
    masukkan script iklan disini
    masukkan script iklan disini
    Foto by : google.com
    Akhir-akhir ini banyak sekali konflik mengenai warisan, salah satunya yaitu perebutan warisan. Hampir semua orang pasti menginginkan warisan. Banyak cara yang mereka lakukan untuk mendapatkannya. Ada yang saling bertengkar, berkelahi, bahkan ada yang sampai saling membunuh. 

    Untuk menghindari hal tersebut, maka pembagian harta warisan harus secepatnya dibagi oleh ahli waris yang berhak. Hukum memberikan peraturan tentang pembagian harta warisan berupa hukum perdata dalam pengadilan. Sistem hukum waris merupakan bagian yang terpenting dalam mengatur hubungan dalam hukum keluarga, dalam hal bagaimana cara menyelesaikan sengketa terkait pembagian warisan.

    Hukum waris adalah hukum yang mengatur mengenai kekayaan seseorang setelah orang itu meninggal. Ada 300 pasal yang mengatur tentang waris, dimulai dari pasal 830 sampai dengan 1130 KUH Perdata. Dalam pasal 830 KUHPerdata, pewarisan hanya terjadi apabila ada kematian dari pemilik harta. Ketika seseorang meninggal dunia, para ahli waris akan menggantikan kedudukan pewaris (pemilik harta) sebagai pihak yang berwenang memiliki atau mengurus harta kekayan yang ditinggalkan.

    Pembagian warisan terdapat tiga unsur, yaitu adanya pewaris, harta warisan dan adanya ahli waris. Untuk menjadi ahli waris yang berwenang menerima, harus mempunyai hubungan dengan pewaris (orang yang meninggal). Orang yang mempunyai wewenang ini menurut hukum Islam disebabkan karena tiga hal, yaitu karena hubungan nasab, karena perkawinan, dan wala.

    Menurut hukum perdata dalam pembagian harta waris, ia tidak membedakan jumlah waris antara laki-laki dan perempuan. Namun, tidak dengan hukum Islam, dalam pembagian harta warisnya, ia membedakan porsi (jumlah) antara laki-laki dan perempuan. Karena ia merujuk pada ketentuan dalam alquran yang tertera dalam QS. An-Nisa ayat 11:
    “Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan.”

    Ada beberapa kondisi dimana sebagian masyarakat lebih memilih untuk mengikuti hukum adat sebagai pedoman dalam pembagian harta warisan. Hal ini karena di dalam masyarakat terdapat berbagai sifat kekerabatan yang bisa dimasukkan dalam tiga macam golongan, yaitu:
    1. Patrilinial, keturunan ayah
    2. Matrilinial, keturunan ibu
    3. Parental, keturunan keduanya yaitu ayah dan ibu.

    Hukum waris adat tidak mengenal adanya hak bagi waris untuk sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan dibagikan kepada para waris, sebagaimana disebut dalam alinea kedua dari Pasal 1066 KUH Perdata atau juga menurut hukum waris Islam. Akan tetapi jika si waris mempunyai kebutuhan atau kepentingan, sedangkan ia berhak mendapat waris, maka ia dapat saja mengajukan permintaannya untuk dapat menggunakan harta warisan dengan cara bermusyawarah dan bermufakat dengan para waris lainnya.

    Dalam pembagian harta warisan harus secara tepat dan sesuai dengan hukum yang berlaku yang patut dipertimbangkan untuk meminimalkan konflik tentang perebutan warisan ataupun yang lainnya di masa mendatang.


    Karya : Dept. Advokasi dan Hukum
    Editor : Dept. Litbang 
    Komentar

    Tampilkan

    Terkini

    HMPSHKI Universitas K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan

    HMPSHKI UINGSUDR

    +